Viral Suami Ceraikan Istri karena hanya bisa masak Mie Instan

Kasus perceraian unik ini ditangani oleh seorang hakim dari Pengadilan Distrik di Mysuru, ML Raghunath, saat menjadi hakim distrik di Ballari.

Ragunanth menyebut kasus perceraian unik ini sebagai ‘kasus Maggi’. “Sang suami berkata bahwa istrinya tidak tahu cara memasak makanan lain selain mi Maggi. 

Mie untuk sarapan, makan siang, dan makan malam. Dia mengeluh bahwa istrinya pergi ke toko dan hanya membawa mie instan, ” katanya kepada New Indian Express. Akhirnya pernikahan itu berakhir dengan perceraian atas persetujuan bersama. 

Raghunath juga menceritakan bermacam-macam alasan kecil nan aneh lain yang memicu pasangan suami istri untuk bercerai. 

Ada yang minta cerai karena tidak berbicara dengan pasangan, karena menempatkan garam di sisi piring yang salah, menjahit jas pernikahan dengan warna yang salah, ada pun alasan karena tidak membawa istri keluar dan masih banyak lagi. 

Hakim tersebut menambahkan bahwa menyelesaikan perselisihan perkawinan itu sulit, dan biasanya pasangan ini mau rujuk karena mempertimbangkan masa depan anak-anak mereka. 

“Kami menggunakan sentimen untuk membawa kompromi di antara pasangan dan menyatukan mereka kembali. Ini lebih ke masalah psikologis daripada fisik. Dalam kebanyakan kasus, meskipun pasangan bersatu kembali, bekas perselisihan mereka tetap ada. 

Dari 800-900 kasus perkawinan, kami berhasil dalam sekitar 20-30 kasus. Di Lok Adalat sebelumnya, dari sekitar 110 kasus perceraian, reuni hanya 32 kasus,” katanya. “Kasus perceraian meningkat drastis dari tahun ke tahun.

Pasangan harus tinggal bersama selama setidaknya satu tahun sebelum mengajukan perceraian. Jika tidak ada undang-undang seperti itu, akan ada permohonan cerai yang diajukan langsung dari gedung pernikahan, ”tambahnya. 

Menurutnya petisi perceraian lebih banyak mereka dapatkan dari pasangan yang tinggal di daerah perkotaan daripada di pedesaan. Faktor yang mendukung karena adanya panchayat desa yang turun tangan dan menyelesaikan masalah pasangan yang tinggal di pedesaan. 

Selain itu perempuan tidak memiliki kemandirian dan ketakutan mereka terhadap masyarakat dan sentimen keluarga memaksa mereka untuk mengatasi situasi tersebut. 

Namun berbeda dengan peremupan di kota, karena mereka telah dididik dan mandiri secara finansial, menurut Raghunath.

Bagikan Artikel ini